Tanpa
banyak pencitraan, semboyan bangsa “berbeda-beda, tapi tetap satu jua”
dipraktekkan bertahun-tahun di sebuah sekolah di lereng Pegunungan
Panderman, Batu, Jawa Timur. Puluhan murid remaja dari berbagai daerah,
suku, dan agama bersama-sama menyambut masa depan dengan gembira dan
hebatnya; tanpa biaya.
Namun,
apa yang tampak tersebut hanya sebagian kecil dari karunia Tuhan yang
ditunjukkan di kawasan pendidikan yang berdiri pada 2007 itu. Saat
melangkah masuk lebih jauh, terlihat remaja-remaja dengan aneka “bentuk
rupa” berseliweran. Mereka selalu ramah tersenyum dan mengajak
bersalaman sambil mencium tangan jika berpapasan dengan siapa saja
pengunjung yang usianya dirasa lebih tua dari mereka.
Menurut
Julianto Eka Putra alias Ko Jul, penggagas berdirinya SMA Selamat Pagi
Indonesia, walaupun 90 murid yang belajar berasal dari beragam daerah,
agama, dan suku, nilai-nilai sopan santun ketimuran dan toleransi kepada
siapa saja memang menjadi dasar semua kegiatan dan pelajaran. “Prinsip
kami memberikan life skill (kecakapan hidup). Murid bisa pintar, tapi
kalau tidak punya sopan santun dan saling menghargai sesama, tidak ada
gunanya,” ujar pengusaha muda yang sukses di bisnis multilevel marketing
High Desert (HD) tersebut.
Prinsip
yang ditekankan Ko Jul itu memang terlihat nyata saat menengok
aktivitas belajar mengajar di kelas-kelas. Di salah satu kelas yang
didatangi, yakni kelas III IPS, misalnya, Sarah dan Charles asal
Jayapura bercanda lepas dengan Martha asal Semarang dan Fitri asal
Kalimantan Timur, saat menunggu pelajaran dimulai. Keceriaan juga
terlihat di kelas I. Umay asal Batam, Daud asal Papua, dan Ardhi asal
Bandung, bersama teman-temannya memberikan surprise (kejutan) kepada Bu
Guru Ria yang berulang tahun. Perbedaan penampilan fisik, tingkah laku,
dan logat bicara malah membuat ruang kelas yang sempit karena hanya
berukuran 3 x 4 meter, penuh dengan keriangan. Tak hanya dalam bergaul,
dalam perilaku sehari-hari, kerukunan juga selalu dijaga.
Yulita,
siswi kelas II asal Senawar, Kalimantan Timur, mengungkapkan, mereka
saling mengingatkan jika ada teman lupa beribadah. “Saya akan tegur jika
ada kawan Islam yang lupa salat,” ujar dara 17 tahun penganut Katolik
itu.
Mewujudkan
keindahan perbedaan itu, diakui Ko Jul tidak mudah. Dia mengaku butuh
waktu 10 tahun untuk mendirikan SPI. “Setelah menyaksikan dahsyatnya
dampak kerusuhan Mei 1998, saya membuat visi membangun sekolah gratis
untuk semua golongan,” ungkapnya. Visi itu sempat disepelekan oleh
kolega dan keluarga Ko Jul. “Wajar saja, sebab gaji saya masih
pas-pasan, kok mau bikin sekolah gratis untuk anak se-Indonesia,”
kenangnya, lantas tertawa.
Namun,
tekad dan kerja keras arek Suroboyo asli yang lahir 39 tahun lalu itu
perlahan-lahan membuat orang-orang terdekatnya yakin. “Dari semula
menentang jadi mendukung, bahkan rela memotong lima persen penghasilan
untuk sekolah ini,” ungkapnya.
Untuk
membeli tanah dan bangunan, Ko Jul mengaku menghabiskan dana sekitar Rp
9 miliar. Ketika fisik sekolah sudah siap, kendala lain muncul. Izin
dari Dinas Pendidikan sempat terkatung-katung hampir satu tahun.
Penyebabnya, muncul isu bahwa Ko Jul dan teman-teman melakukan gerakan
Kristenisasi. “Namun, Tuhan selalu punya cara menolong kami. Atas
bantuan tokoh-tokoh pendidikan dan pemuka Muhammadiyah dari Universitas
Negeri Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang, seperti Ibu Ratih
Juliati dan Profesor Nyoman Degeng, isu itu hilang dan izin keluar,”
ujarnya.
Akhirnya SPI
bisa memulai kegiatan pada tahun ajaran 2007/2008. Namun, beberapa
bulan beroperasi, lagi-lagi rumor tak sedap kembali muncul. Karena
lokasi sekolah di lereng bukit dan tidak tampak langsung dari jalan
utama Bumiaji–Selecta, kembali ada rumor bahwa SPI adalah sekolah
eksklusif Islam garis keras. Maklum saja, Kota Batu sempat menjadi
berita seantero nusantara karena dijadikan persembunyian gembong teroris
Dr Azhari. “Lagi-lagi dengan pendekatan kekeluargaan dan membuka diri
kepada siapa saja yang ingin tahu, isu itu akhirnya hilang,” ujar Ko
Jul.
Terbantahkannya
aneka isu negatif itu membuat SPI semakin diterima masyarakat. Kini, Ko
Jul dan pengurus sekolah serta para donatur fokus agar SPI terus
berkembang.
Maklum
saja, biaya operasional SPI sangat besar. Itu karena para murid
didatangkan dari seluruh provinsi di Indonesia tanpa biaya. “Kami tidak
pakai kriteria-kriteriaan, seperti harus pintar, harus ganteng, dari
agama apa, golongan apa, dan sebagainya. Yang penting, mereka dari
keluarga tidak mampu dan punya motivasi kuat ingin maju,” ujarnya.
Rekan-rekan
usaha Ko Jul yang melakukan verifikasi dan merekomendasikan untuk
diterima di SPI. “Setiap tahun kami menargetkan terima 35 murid baru,”
ujarnya.
Murid yang
terpilih akan mendapat biaya pendidikan dan kebutuhan hidup mulai makan,
pakaian, dan tempat tinggal selama mereka menuntut ilmu hingga lulus.
Tahun lalu SPI berhasil meluluskan 26 siswa angkatan pertama. Dari
jumlah itu 19 anak pulang ke kampung halaman dan tujuh siswa bertahan di
SPI untuk mengembangkan unit-unit usaha. “Kami memang mengembangkan
produksi keripik snack, minyak angin, pelatihan SDM, serta kawasan
rekreasi edukatif Kampung Kidz,” urai Ko Jul. Aktivitas di unit usaha
itu dilakukan setelah kegiatan belajar serta pada saat libur Sabtu,
Minggu, dan hari besar nasional.
Rupiah
dari unit usaha itu sebagian untuk menambal biaya operasional sekolah
dan sebagian kecil untuk uang saku para murid yang bekerja. “Konsep
sekolah wirausaha itu membuat sebagian murid dan alumni sudah bisa
mandiri, bahkan membantu keluarga,” ujar Ko Jul. Dia mencontohkan Haris,
salah satu murid asal Madura yang ayahnya bekerja sebagai tukang becak.
Dari uang saku di SPI, Haris kini bisa membantu biaya sekolah adiknya.
Ke
depan, Ko Jul berangan-angan SPI menjadi teladan bagi siapa saja yang
mendambakan kedamaian dari perbedaan. “Kalau mau membantu, nggak usah
lihat agamanya apa, sukunya dari mana. Asal dia manusia, mari kita
bantu,” ajaknya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar