Minggu, 17 Juni 2012

Bhineka Tunggal Ika Ternyata Masih Ada di Sekolah SMA Selamat Pagi Indonesia

Kena Tuduh Kristenisasi hingga Fitnah Islam Garis Keras
Tanpa banyak pencitraan, semboyan bangsa “berbeda-beda, tapi tetap satu jua” dipraktekkan bertahun-tahun di sebuah sekolah di lereng Pegunungan Panderman, Batu, Jawa Timur. Puluhan murid remaja dari berbagai daerah, suku, dan agama bersama-sama menyambut masa depan dengan gembira dan hebatnya; tanpa biaya.
HAMPARAN lapangan basket dengan dua gedung tiga lantai warna oranye menjulang, menyambut setiap pengunjung yang memasuki kompleks SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Bumiaji, Batu. Embusan angin segar pegunungan dan hijau sawah di belakangnya membuat siapa saja betah berlama-lama di kompleks sekolah seluas enam hektare itu.
Namun, apa yang tampak tersebut hanya sebagian kecil dari karunia Tuhan yang ditunjukkan di kawasan pendidikan yang berdiri pada 2007 itu. Saat melangkah masuk lebih jauh, terlihat remaja-remaja dengan aneka “bentuk rupa” berseliweran. Mereka selalu ramah tersenyum dan mengajak bersalaman sambil mencium tangan jika berpapasan dengan siapa saja pengunjung yang usianya dirasa lebih tua dari mereka.
Menurut Julianto Eka Putra alias Ko Jul, penggagas berdirinya SMA Selamat Pagi Indonesia, walaupun 90 murid yang belajar berasal dari beragam daerah, agama, dan suku, nilai-nilai sopan santun ketimuran dan toleransi kepada siapa saja memang menjadi dasar semua kegiatan dan pelajaran. “Prinsip kami memberikan life skill (kecakapan hidup). Murid bisa pintar, tapi kalau tidak punya sopan santun dan saling menghargai sesama, tidak ada gunanya,” ujar pengusaha muda yang sukses di bisnis multilevel marketing High Desert (HD) tersebut.
Prinsip yang ditekankan Ko Jul itu memang terlihat nyata saat menengok aktivitas belajar mengajar di kelas-kelas. Di salah satu kelas yang didatangi, yakni kelas III IPS, misalnya, Sarah dan Charles asal Jayapura bercanda lepas dengan Martha asal Semarang dan Fitri asal Kalimantan Timur, saat menunggu pelajaran dimulai. Keceriaan juga terlihat di kelas I. Umay asal Batam, Daud asal Papua, dan Ardhi asal Bandung, bersama teman-temannya memberikan surprise (kejutan) kepada Bu Guru Ria yang berulang tahun. Perbedaan penampilan fisik, tingkah laku, dan logat bicara malah membuat ruang kelas yang sempit karena hanya berukuran 3 x 4 meter, penuh dengan keriangan. Tak hanya dalam bergaul, dalam perilaku sehari-hari, kerukunan juga selalu dijaga.
Yulita, siswi kelas II asal Senawar, Kalimantan Timur, mengungkapkan, mereka saling mengingatkan jika ada teman lupa beribadah. “Saya akan tegur jika ada kawan Islam yang lupa salat,” ujar dara 17 tahun penganut Katolik itu.
Mewujudkan keindahan perbedaan itu, diakui Ko Jul tidak mudah. Dia mengaku butuh waktu 10 tahun untuk mendirikan SPI. “Setelah menyaksikan dahsyatnya dampak kerusuhan Mei 1998, saya membuat visi membangun sekolah gratis untuk semua golongan,” ungkapnya. Visi itu sempat disepelekan oleh kolega dan keluarga Ko Jul. “Wajar saja, sebab gaji saya masih pas-pasan, kok mau bikin sekolah gratis untuk anak se-Indonesia,” kenangnya, lantas tertawa.
Namun, tekad dan kerja keras arek Suroboyo asli yang lahir 39 tahun lalu itu perlahan-lahan membuat orang-orang terdekatnya yakin. “Dari semula menentang jadi mendukung, bahkan rela memotong lima persen penghasilan untuk sekolah ini,” ungkapnya.
Untuk membeli tanah dan bangunan, Ko Jul mengaku menghabiskan dana sekitar Rp 9 miliar. Ketika fisik sekolah sudah siap, kendala lain muncul. Izin dari Dinas Pendidikan sempat terkatung-katung hampir satu tahun. Penyebabnya, muncul isu bahwa Ko Jul dan teman-teman melakukan gerakan Kristenisasi. “Namun, Tuhan selalu punya cara menolong kami. Atas bantuan tokoh-tokoh pendidikan dan pemuka Muhammadiyah dari Universitas Negeri Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang, seperti Ibu Ratih Juliati dan Profesor Nyoman Degeng, isu itu hilang dan izin keluar,” ujarnya.
Akhirnya SPI bisa memulai kegiatan pada tahun ajaran 2007/2008. Namun, beberapa bulan beroperasi, lagi-lagi rumor tak sedap kembali muncul. Karena lokasi sekolah di lereng bukit dan tidak tampak langsung dari jalan utama Bumiaji–Selecta, kembali ada rumor bahwa SPI adalah sekolah eksklusif Islam garis keras. Maklum saja, Kota Batu sempat menjadi berita seantero nusantara karena dijadikan persembunyian gembong teroris Dr Azhari. “Lagi-lagi dengan pendekatan kekeluargaan dan membuka diri kepada siapa saja yang ingin tahu, isu itu akhirnya hilang,” ujar Ko Jul.
Terbantahkannya aneka isu negatif itu membuat SPI semakin diterima masyarakat. Kini, Ko Jul dan pengurus sekolah serta para donatur fokus agar SPI terus berkembang.
Maklum saja, biaya operasional SPI sangat besar. Itu karena para murid didatangkan dari seluruh provinsi di Indonesia tanpa biaya. “Kami tidak pakai kriteria-kriteriaan, seperti harus pintar, harus ganteng, dari agama apa, golongan apa, dan sebagainya. Yang penting, mereka dari keluarga tidak mampu dan punya motivasi kuat ingin maju,” ujarnya.
Rekan-rekan usaha Ko Jul yang melakukan verifikasi dan merekomendasikan untuk diterima di SPI. “Setiap tahun kami menargetkan terima 35 murid baru,” ujarnya.
Murid yang terpilih akan mendapat biaya pendidikan dan kebutuhan hidup mulai makan, pakaian, dan tempat tinggal selama mereka menuntut ilmu hingga lulus. Tahun lalu SPI berhasil meluluskan 26 siswa angkatan pertama. Dari jumlah itu 19 anak pulang ke kampung halaman dan tujuh siswa bertahan di SPI untuk mengembangkan unit-unit usaha. “Kami memang mengembangkan produksi keripik snack, minyak angin, pelatihan SDM, serta kawasan rekreasi edukatif Kampung Kidz,” urai Ko Jul. Aktivitas di unit usaha itu dilakukan setelah kegiatan belajar serta pada saat libur Sabtu, Minggu, dan hari besar nasional.
Rupiah dari unit usaha itu sebagian untuk menambal biaya operasional sekolah dan sebagian kecil untuk uang saku para murid yang bekerja. “Konsep sekolah wirausaha itu membuat sebagian murid dan alumni sudah bisa mandiri, bahkan membantu keluarga,” ujar Ko Jul. Dia mencontohkan Haris, salah satu murid asal Madura yang ayahnya bekerja sebagai tukang becak. Dari uang saku di SPI, Haris kini bisa membantu biaya sekolah adiknya.
Ke depan, Ko Jul berangan-angan SPI menjadi teladan bagi siapa saja yang mendambakan kedamaian dari perbedaan. “Kalau mau membantu, nggak usah lihat agamanya apa, sukunya dari mana. Asal dia manusia, mari kita bantu,” ajaknya.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar